Untuk info seminar dan mengundang sebagai pembicara seminar hubungi 021-7364885 atau via email: jarotwj@yahoo.com

Kamis, 30 September 2010

MENEMBUS BATAS SUKU

Semua orang ingin sukses tapi banyak halangan untuk sukses. Dan halangan terbesar bukan di luar dirinya, tapi di dalam dirinya, yaitu di dalam pikiran manusia itu sendiri. Ada orang yang berfikir bahwa sukunya adalah halangan untuk sukses. Padahal sebenarnya suku bukan halangan untuk sukses, tetapi pikirannya yang menghalangi dia untuk sukses.

Banyak orang berpikir bahwa suku itu menghalangi. Contohnya, saya tanya pada seseorang. “Kamu mau menikah nggak?” Dia menjawab,”Ya mau, Om.” Saya tanya lagi,”Mau menikah dengan siapa?” Dia menjawab,”Mau menikah dengan bule.”

Tidak salah menikah dengan bule. Tetapi sering saya tanya motivasinya apa. Dan kebanyakan menjawab,”Untuk memperbaiki keturunan.” Nah, memangnya ada apa dengan keturunanmu? Ini namanya inlander spirit, orang yang merasa bahwa sukunya lebih rendah dari suku yang lain. Dan sikap seperti ini menghalangi banyak orang untuk sukses.

Bisa dipahami bahwa beratus-ratus tahun bangsa Asia, atau Timur merasa lebih rendah dari bangsa Barat. Karena penjajahan selama jangka waktu yang begitu panjang, ratusan tahun. Tetapi pada awal abad XX, saat Jepang menang perang terhadap Rusia di Pulau Kuriu. Ini meningkatkan martabat bangsa Asia dan ternyata bangsa Asia tidak lebih rendah dari bangsa Barat asalkan mau berusaha. Kemenangan Jepang ini memicu prang kemerdekaan di kawasan Asia. Selanjutnya, tahun demi tahun, bangsa demi bangsa mulai memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Jadi sebenarnya, suku bukan halangan. Semua suku bisa sukses, semua suku bisa berhasil, karena memang sebenarnya hak semua bangsa untuk sukses atau berhasil. Suku bukan kendala untuk maju, tetapi kalau kita berpikir seperti itu. Halangan bukan karena sukunya, tetapi karena ia berpikir demikian.

Saya beri contoh diri saya sendiri. Saya orang Jawa lahir di Karang Pandan, sekitar Solo-Gunung Lawu. Orang Jawa adalah orang yang punya kultur lahir sebagai pegawai. Ketika di SMA diadakan survey, nanti mau jadi apa, maka 95% menjawab ingin menjadi pegawai: pegawai negeri atau pegawai swasta. Hanya 3-5 persen yang yang ingin menjadi pedagang, pengusaha atau enterpreneur. Orang Jawa secara umum memang menjadi pegawai atau petani, kalaupun ada pedagang, maka yang muncul, dimana-mana, kemana kita pergi, maka yang ada hanya pedagang bakso, Bakso Solo atau kalau Madura, jualan sate.

Nah, itu adalah stigma. Orang sering minder karena sukunya. Suku juga ada stigma. Tetapi apakah itu adalah sebuah kebenaran? Kadang-kadang kebenaran itu berdasarkan kenyataan. Ketika saya bekerja di perusahaan swasta nasional, yaitu Astra, saya bisa melihat bahwa para manager ke atas kebanyakan bermata sipit atau orang Tionghoa. Itu membuat stigma semakin kental bagi diri saya, bahwa saya tidak akan sukses menjadi pengusaha, tetapi hanya menjadi pegawai.

Namun, stigma tentang suku ini berubah ketika saya bergaul semakin luas. Banyak buyer, atau pedagang, pengusaha dari Cekoslovakia, Etiopia, India, Arab. Ternyata banyak bangsa-bangsa juga berdagang. Ini membuka pikiran saya bahwa sebenarnya suku bukan halangan untuk berdagang, Ketika pikiran saya berubah, maka saya semakin semangat menjadi sales di Astra Export. Dan tahun 1992 saya mengambil keputusan keluar dan membuka perusahaan sendiri. Dan sampai hari ini masih berlangsung. Itulah MLM IFA yang saya dirikan bersama partner saya Pak Tomo. Saya berdagang dan ternyata bisa. Suku Jawa ternyata bisa berdagang. Jadi kenyataan, belum tentu sebuah kebenaran. Kenyataan membentuk stigma, tetapi kebenaran adalah kebenaran dan kebenarannya adalah semua orang punya hak untuk sukses, untuk maju dan tidak tergantung sukunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar